HAL-HAL YANG HARUS DIATASI DENGAN SISTEM SYARIAH
·
KEMISKINAN
Ekonomi
syariah dinilai cocok untuk program pengentasan kemiskinan. Hal ini karena
masyarakat miskin tidak dipandang sebagai pihak yang malas. Namun, pihak yang
tidak mendapat akses untuk kehidupan yang lebih baik.
''Di
sini letak perbedaan sistem ekonomi syariah dan konvensional. Sistem ekonomi
syariah tidak bertujuan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Tapi, bagaimana
kehidupan lebih baik bisa dicapai bersama,'' ujar ketua MUI bidang ekonomi,
keuangan, dan produk halal, Amidhan.
Ekonomi
syariah mempunyai prinsip sinergi (ta'awun). Prinsip ini memungkinkan
orang yang lebih dulu sukses itu membantu sesamanya. ''Kerja sama ini
memungkinkan umat Islam maju bersama,'' katanya.
Selain
itu, ekonomi syariah memiliki sistem bagi hasil. Sistem ini memungkinkan
kerugian dan keuntungan ditanggung pemodal dan peminjam. Besarnya tanggungan
diatur dalam akad yang sudah disetujui bersama.
Amidhan
mengatakan sistem bagi hasil memungkinkan bank sebagai pemodal tidak hanya
menagih pinjaman modal. Pihak bank juga harus membantu peminjam dalam memajukan
usahanya. Sebaliknya pihak peminjam juga harus bekerja kera memajukan usahanya
supaya bisa cepat mengembalikan pinjaman.
·
SISTEM SUAP
Rasulullah
bersabda; Allah melaknat orang yang melakukan suap dan
menerima suap (HR.Ibnu Majah)
Sauban
berkata; Rasulullah melaknat penyuap, penerima suap dan perantara,
yaitu orang yang menghubungkan keduanya.
(HR. Ahmad)
Kata (risywah) secara leksikal
mengacu pada kata rasya-yarsyu-risywatan yang bermakna al-ju’l yang
berarti upah, hadiah, pemberian atau komisi. Sedangkan penyuapan risywah
secara terminologis adalah tindakan memberikan harta dan yang semisalnya untuk
membatalkan hak milik pihak lain atau mendapatkan
atas hak milik pihak lain.
Definisi lain tentang risywah sebagai sesuatu
yang diberikan seseorang kepada hakim atau lainnya agar orang tersebut mendapatkan
kepastian hukum atau sesuatu yang diinginkannya. Rumusan tersebut
dikenal dengan urusan ‘isti’jal fi al-qadhiyah’ yakni usaha untuk
menyegerakan pengurusan masalah
hukum, termasuk pengurusan masalah lainnya
tanpa melalui prosedur yang berlaku karena
ingin cepat proses pengurusannya.
Risywah dilarang karena
dapat mengakibatkan hancurnya tata nilai dan system hukum.
Sebagaimana pendapat Umar Ibn al-Khatab yang
melarang para pejabat menerima hadiah,
karena pada hakekatnya hadiah itu risywah. Begitu pula pendapatnya tentang harta risywah
tidak boleh dikembalikan kepada pelakunya, terlebih lagi
bagi penerimanya, tetapi harus diinfaqkan untuk sabilillah.
Dari pengertian tersebut diatas, bahwa risywah
sepadan dengan kata sogok dalam bahasa Indonesia. Sungguhpun demikian
risywah tidak sepenuhnya indentik dengan korupsi
karena korupsi mengandung cakupan lebih
luas, korupsi yang dikenal pada saat ini
mencakup beragam bentuk penyalahgunaan wewenang termasuk penyalahgunaan
yang tidak ada unsur suapnya.
Dengan kata lain risywah tidak persis sama
dengan korupsi, namun salah satu bentuk ekspresi korupsi
dan dapat mengakibatkan hancurnya system nilai dan
system hukum yang berlaku dimasyarakat. Seperti
menyegerakan masalah hukum, termasuk pengurusan masalah lainnya tanpa
melalui prosedur yang berlaku.
·
KORUPSI
Korupsi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(2003:616) adalah perbuatan yang buruk (penggelapan uang). Dalam KBBI juga
disebutkan bahwa perbuatan korup adalah perbuatan menerima uang sogok(memakai
kekuasaannya) untuk kepentingan sendiri. Berarti, dapat disimpulkan bahwa
korupsi adalah perbuatan penyalahgunaan kekuasaan secara materiil (uang) untuk
kepentingan pribadi atau kelompok.Syariah di sini kami artikan sebagai syariah
Islam, berarti syar’i hukum-hukum Allah yang disyariatkan kepada hamba-hamba-Nya,
baik hukum-hukum dalam Al-Qur’an dan sunnah nabi Saw dari perkataan, perbuatan
dan penetapan. Kembali pada pokok masalah, setelah mengetahui definisi korupsi
dan syariah itu sendiri, pertanyaannya adalah apakah dalam hukum Allah yang
terwahyukan dalam Al Quran serta apa yang dicontohkan Rasul Nabi Muhammad SAW,
korupsi itu diperbolehkan?
Allah SWT
berfirman dalam Surat An Nisa:29
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan cara batil, kecuali dengan cara perniagaan yang berlaku dengan
suka sama suka di antara kamu…”
Firman
Allah lain dalam surat Al Baqarah:188
Dan janganlah
sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan
yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan
(jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui
Kedua ayat tersebut
menunjukkan larangan Allah SWT kepada muslim untuk tidak memakan harta sesame
muslim dengan jalan yang bathil. Hal ini merujuk pada praktik korupsi saat ini,
yaitu menyalahgunakan uang negara/anggaran negara yang seharusnya dipergunakan
untuk kepentingan umum justru dinikmati diri sendiri dan dipergunakan untuk
kepentingan kelompoknya saja. Pada Al Baqarah ayat 188 juga disebutkan
bagaimana larangan membawa urusan sengketa harta ini ke pengadilan, merujuk
bagaimana fenomena pemberantasan korupsi yang sering mandek karena sang
tersangka kasus korupsi berusaha meyakinkan hakim akan legalitas harta yang dia
miliki.
Al Hadist juga memberikan tuntunan yang tegas bagaimana perbuatan
korupsi, suap (risywah), tidak diperbolehkan dalam habluminannas,
penyelenggaraan pemerintahan:
Rosulullah bersabda:
“Hai manusia, barang siapa yang mejalankan tugas untuk kami, lalu
dia menyembunyikan dari kami barang sekecil jarum atau lebih, maka apa yang
disembunyikannya itu adalah kecurangan (korupsi) yang kelak akan dibawa pada
hari kiamat.” (HR. Muslim
dan Ahmad)
Hadist di atas menunjukkan bagaimana
Rasulullah SAW melarang penyalahgunaan wewenang tugas(korupsi) serta segala
bentuk suap yang dilakukan untuk mempermulus kepentingan
pribadi/golongan.Riwayat kehidupan Nabi Muhammad SAW juga diceritakan beberapa
kali kisah kaum yang melakukan korupsi dalam peperangan, seperti Perang
Khaibar, dll. Ini menegaskan bagi kita bahwa perbuatan korupsi dengan berusaha
mengambil keuntungan yang bukan hak nya dalam setiap tugas yang diberikan,
serta melakukan sesuatu hal yang sifatnya materiil kepada pihak lain demi
mempermulus kepentingan diri sendiri dan golongan adalah hal yang dilarang/
diharamkan.
Bentuk korupsi saat ini yang dinamis pun tidak
menjadi alasan bagaimana suatu praktik korupsi dihalalkan dalam syariat Islam
karena belum diatur dalam Al Quran maupun Al Hadist, karena pada dasarnya
korupsi adalah penyalahgunaan wewenang(amanah), hal tersebut adalah sifat
tercela dan perbuatan yang diharamkan.
Mengkhianati amanah(kepercayaan) adalah salah
satu dari 3 sifat munafik yang merupakan salah satu dosa besar. Kesimpulannya,
dalam hukum Islam, segala perbuatan, modus, dan bentuk operasi korupsi
diharamkan karena pada dasarnya korupsi mengorbankan kepentingan umat,
demi kenikmatan pribadi dan golongan, menerima apa yang bukan haknya, dan hal
tersebut merupakan perbuatan yang tidak dibenarkan.
Setelah kita mengetahui bagaimana korupsi
sesuai perspektif syariat Islam, tentu ada solusi yang ditawarkan, sesuai
dengan tuntunan, apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW ketika beliau
menjalankan pemerintahan kekhalifahan Islam di Arab sana. Ada empat solusi yang
bisa ditawarkan yaitu:
1.
Keteladanan pemimpin
Dalam hal ini, pemimpin memiliki peran Ing
Ngarsa Sung Tuladha, yang berarti di depan memberi contoh. Khalifah
Umar menyita sendiri seekor unta gemuk milik putranya, Abdullah bin Umar,
karena kedapatan digembalakan bersama di padang rumput milik Baitul Mal Negara.
Hal ini dinilai Umar sebagai bentuk penyalahgunaan fasilitas negara. Fenomena
korupsi yang terjadi di Indonesia menunjukkan bagaimana terjadi krisis
kepemimpinan dalam lembaga-lembaga negara. Kredibilitas lembaga dipertanyakan
karena banyak pimpinan lembaga dan personal yg menduduki posisi penting di
negara itu harus diadili akibat korupsi.Banyak orang bicara tentang korupsi di
Indonesia karena sistem yang ada sudah salah. Kalau pemimpinnya menyadari itu
dan mau mengubah, serta berusaha mencontohkan yang baik dan benar, kenapa tidak
mengatakan kalau korupsi itu bisa diberantas?
2.
Sistem insentif anti korupsi
Ini berkaitan
dengan satu dari 10 prinsip ekonomi, people respond to incentives,
berkaitan dengan bagaimana insentif memperoleh pendapatan halal itu haruslah
lebih besar daripada insentif untuk mengambil sesuatu yang bukan haknya. Rasul
dalam hadis riwayat Abu Dawud berkata, “Barang siapa yang diserahi pekerjaan
dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah, jika belum beristri
hendaknya menikah, jika tidak mempunyai pembantu hendaknya ia mengambil
pelayan, jika tidak mempunyai hewan tunggangan (kendaraan) hendaknya diberi.
Adapun barang siapa yang mengambil selainnya, itulah kecurangan”.Ketika
kepuasan seorang pegawai pajak yang telah mendapat gaji tinggi oleh
pemerintah, mungkin dia berpikir ribuan kali untuk berusaha ‘lebih rakus lagi’
untuk meningkatkan pendapatan yang diterimanya. Insentif ini hendaknya
diletakkan sebagai ‘imbalan untuk integritas’ seperti tunjangan serta hadiah
bagi pegawai yang bertindak jujur dalam 1 periode perusahaan, maupun sifatnyapunishment seperti
penurunan gaji bagi karyawan yang kedapatan mencuri perlengkapan kantor.
3.
Hukuman yang setimpal
Mungkin salah satu output mengecewakan yang
tidak bisa diterima masyarakat Indonesia dalam upaya pemberantasan korupsi
adalah bagaimana ringannya hukuman seorang koruptor bila dibanding kerugian
negara akibat perbuatan yang dia lakukan. Hukuman dalam Islam memang berfungsi
sebagai zawajir(pencegah). Artinya, dengan hukuman setimpal atas
koruptor, diharapkan orang akan berpikir sekian kali untuk melakukan kejahatan
itu. Pada dasarnya karena korupsi adalah perbuatan merugikan negara dengan
penggelapan uang negara untuk kepentingan pribadi, maka sanksi tegas dengan
menuntut pengembalian uang hasil korupsi adalah hal logis yang bisa dilakukan.
Sanksi lain dengan upaya memiskinkan koruptor, pengancaman untuk menyita aset
kekayaan mereka, hingga hukuman mati menjadi sanksi yang dapat diberikan kepada
koruptor. Intinya adalah bagaimana kembali ke tujuan hukuman dalam Islam berupa
langkah pencegahan, orang akan berpikir berjuta-juta kali untuk melakukan
perbuatan korupsi mengingat risiko yang besar.
4.
Pengawasan masyarakat
Sistem pemerintahan Indonesia yang demokratis,
menjunjung kebebasan berpendapat seharusnya menjadi peluang bagaimana
masyarakat sebagai kekuatan negara, pemilik kedaulatan untuk mengungkap
sejelas-jelasnya apabila terjadi korupsi yang dilakukan wakil rakyatnya ataupun
adanya indikasi korupsi yang dilakukan pejabat publik.Kisah dalam kepemimpinan
Khalifah Umar, demi menumbuhkan keberanian rakyat mengoreksi aparat, Khalifah
Umar di awal pemerintahannya menyatakan, “Apabila kalian melihatku menyimpang
dari jalan Islam, maka luruskan aku walaupun dengan pedang”.Artinya bagaimana
masyarakat harus bersikap kritis terhadap jalannya pemerintahan, dan pemerintah
juga harus membuka ruang publik seluas-luasnya bagi masyarakat yang ingin
melaporkan adanya penyimpangan wewenang oleh pejabat publik itu sendiri.
Indonesia sendiri telah memiliki beberapa institusi yang telah membuka ruang
untuk itu, KPK dengan banyak komunitas antikorupsi mereka, ICW, PUKAT,LSM,
serta lembaga-lembaga lain yang bertujuan ikut mengawasi pemerintahan untuk
tidak melakukan praktik korupsi. 234 juta mata rakyat Indonesia yang aktif dan
kritis mengawasi pemerintah tentu akan memberi kekuatan luar biasa dalam
ketelitian mendeteksi korupsi di Indonesia.
Kesimpulannya adalah Korupsi JELAS
HARAM hukumnya, tidak sesuai syariat Islam, dan tentu apabila dilakukan akan
menimbulkan konsekuensi tersendiri bagi orang yang melakukannya. Bilamana saat
ini banyak terjadi orang yang paham hukum Agama, pakar syariat Islam, tetapi
terbukti melakukan korupsi, sekali lagi, korupsi di sini adalah persoalan
integritas, bukan lagi haram atau tidaknya perbuatan tersebut. Semua kembali
pada diri sendiri, bagaimana dia mampu menghindarkan diri dari nafsu pribadi,
berusaha amanah dalam mengemban tugas, serta berniat ‘wakaf’ dan pengabdian
dalam setiap pengorbanan yang dilakukan.
·
DAYA BELI RENDAH
Untuk meminimalkan imbas krisis global yang lebih buruk, maka
perlu mekanisme basis ekonomi dalam hal peningkatan daya beli masyarakat.
Pemerintah sedari dini dituntut untuk mmenciptakan mekanisme tersebut. Dengan
itu, krisis yang mengintai bisa diantisipasi dengan baik.
Menurut Sasono Dewan Pendiri
Center for Information and Development Studies (CIDES) tidak
perlu ada pengkajian dalam hal penyelesaian krisis global yang tengah terjadi
sekarang ini. Tapi, akan lebih baik bila pemerintah berfokus kepada penyelesaian
masalah yang ada didalam negeri, sehingga fundamental perekonomian Indonesia
bisa tercipta dengan kokoh.
“Lebih
baik tidak masuk lebih dalam ke dalam penyelesaian ekonomi global, tapi
diamankan dulu kondisi ekonomi didalam negeri, terlebih pada basis ekonomi
kita”, tandas Adi, yang juga mantan Menteri Koperasi
ini.
Ia menerangkan, basis ekonomi yang dimaksud
adalah upaya pemerintah dalam peningkatan daya beli domestik. Ini menjadi
penting, karena akan menguatkan fundamental ekonomi pada waktu-waktu mendatang.
Dalam rangka meningkatkan kemampuan daya beli
masyarakat, upaya pengembangan usaha skala mikro tampaknya dapat menjadi
alternatif pilihan untuk mendongkrak pendapatan masyarakat yang relatif
tertinggal. Hal ini cukup terbukti pada masa krisis ekonomi melanda Indonesia,
sektor usaha kecil dan menengah mampu tetap bertahan dan menggerakkan roda
perekonomian di daerah.
Dibawah ini ada beberapa indikator lain untuk
menigkatkan daya beli masyarakat sebagai penunjang pertumbuhan ekonomi
diantaranya:
Satu: Mengingat
implementasi peningkatan daya beli tidak mudah dengan anggaran APBN/APBD yang
sangat terbatas, maka perlu diupayakan melalui anggaran kemitraan CSR (Corporate Social Responsibility)
dari dunia usaha. Paling tidak memetakan jumlah anggaran CSR yang ada dan
implementasinya dalam rangka peningkatan daya beli rakyat.
Dua: Membangun
lembaga kredit mikro untuk rakyat miskin dengan sistem Grameen Bank. Filosofinya adalah mendorong rakyat
mampu menolong dirinya sendiri, karena sebenarnya orang miskin memiliki
kemampuan tersembunyi yang belum dimanfaatkan.
Tiga: Helping each
other to help oneself adalah konsep
pemberdayaan masyarakat miskin dengan caratribina, yaitu: bina manusia,
bina lingkungan, dan bina usaha. Langkah
yang dilakukan adalah memutus lingkaran setan ketidak-berdayaan, dari [penghasilan rendah - tidak ada
tabungan - tidak ada investasi]menjadi [penghasilan
rendah - kredit awal - jalankan usaha -penghasilan lebih - menabung - investasi
- kredit berikut lebih besar - jalankan usaha - dst, dst].
Empat: Menciptakan
paket-paket usaha pedesaan menuju kemandirian pedesaan, kelestarian lingkungan,
ekowisata pedesaan. Misalnya: paket usaha kompos organik, paket pertanian organik,
paket energi pedesaan, dan lain-lainnya.
Lima: Menggalakkan usaha-usaha
informil berbasis bahan bekas dan “used material” lainnya, misal: bisnis kertas
bekas, plastik bekas, barang rongsokan. Sekaligus dalam rangka reduce, reuse, recycle, dan zero
waste.
Enam: Pendampingan
dan pembinaan beberapa usaha mikro masyarakat sebagai percontohan di tiap
Kabupaten/Kota dengan membangun kompetisi yang sehat.
Tujuh: Peningkatan
daya beli bukan sekedar masalah ekonomi saja, tetapi juga masalah sosial, budaya, dan lingkungan.
Perlu pembelajaran Gerakan
Masyarakat Hidup Sederhana, budaya tidak konsumtif, tidak terkecuali
diberlakukan bagi seluruh lapisan masyarakat yang diteladani oleh pemimpin.
Bisa dikaji dan ditiru konsep gerakan
swadesi yang terkenal dari
India di masa Mahatma Gandhi.
Delapan: Penghijauan,
reboisasi, pemulihan kawasan lindung, dengan jenis pohon “the right tree in the right place” di prioritaskan
di daerah irigasi yang masih mengandalkan tadah hujan
Sembilan: Menciptakan
program pembangunan skala besar, tetapi padat
karya, selama 3-5 tahun (dalam masa kepemimpinan seorang Gubernur).
Didampingi oleh lembaga profesional independen, dan selalu diaudit secara
transparan.
Sepuluh: pemuliaan
Musyawarah Perencanaan Pembangunan (MUSRENBANG), sejak desa hingga provinsi,
sehingga bisa menjaring aspirasi kebutuhan masyarakat bottom-up secara benar. Musrenbang diharapkan
tidak sekedar pertemuan seremonial sebagai realisasi program-program top-down.
Sebelas: Peresentase (%)
pagu indikatif APBD harus lebih fokus kepada program-program akselerasi
peningkatan daya beli masyarakat.
Duabelas: Menekan laju
pertumbuhan penduduk baik alami maupun migrasi. Migrasi penduduk dari luar
provinsi harus bisa ditekan.
·
HARGA
BARANG MENINGKAT
Secara teori, inflasi tidak
dapat dihapus dan dihentikan, namun laju inflasi dapat ditekan sedemikian rupa.
Islam sebetulnya pula solusi menekan laju inflasi seperti yang telah dikemukan
oleh tokoh-tokoh ekonomi Islam klasik. Misalnya al-Ghazali (1058-1111)
menyatakan, pemerintah mempunyai kewajiban menciptakan stabilitas nilai uang.
Dalam ini al-Ghazali
membolehkan penggunaan uang yang bukan berasal dari logam mulia seperti dinar
dan dirham, tetapi dengan syarat pemerintah wajib menjaga stabilitas nilai
tukarnya dan pemerintah memastikan tidak ada spekulasi dalam bentuk perdagangan
uang.
Ibnu Taimiyah (1263-1328) juga mempunyai solusi
terhadap inflasi ini. Ia sangat menentang keras terhadap terjadinya penurunan
nilai mata uang dan percetakan uang yang berlebihan. Ia berpendapat pemerintah
seharusnya mencetak uang harus sesui dengan nilai yang adil atas transaksi
masyarakat, tidak memunculkan kezaliman terhadap mereka.
Ini berarti Ibnu Taimiyah
menekankan bahwa percetakan uang harus seimbang dengan trasnsaksi pada sector
riil. Uang sebaiknya dicetak hanya pada tingkat minimal yang dibutuhkan untuk
bertransaksi dan dalam pecahan yang mempunyai nilai nominal yang kecil.
Di samping itu ia juga
menyatakan bahwa nilai intrinsic mata uang harus sesuai dengan daya beli
masyarakat. Penciptaan mata uang dengan nilai nominal yang lebih besar dari
pada nilai intrinsiknya akan menyebabkan penurunan nilai mata uang serta akan
memunculkan inflasi. Ini berarti akibat dari rendahnya nilai intrinsic uang
menjadi salah satu terjadinya inflasi. Begitu juga pemalsuan mata uang dan
perdagangan mata uang di nilai ibn Taimiyah sebagai bentuk kezaliman terhadap
masyarakat dan bertentangan dengan kepentingan umum.
Husain Shahathah menawarkan
beberpa solusi untuk mengatasi inflasi adalah;
1) Reformasi terhadap system moneter yang ada
sekarang dan menghubungkan antara kuantitas uang dengan kuantitas produksi.
2) Mengarahkan belanja dan
melarang sikap berlebihan dan belanja yang tidak bermanfaat.
3) Larangan menyimpan
(menimbun) harta dan mendorong untuk menginvestasikannya.
4) Meningkatkan produksi
dengan memberikan dorongan kepada masyarakat secara materil dan moral. Menjaga
pasokan barang kebutuhan pokok merupakan yang krusial untuk bias mengendalikan
inflasi.
Dalam perekonomian sekarang
Bank sentral mempunyai peranan penting dalam mengendalikan inflasi. Bank
sentral suatu negara umumnya berusaha mengendalikan tingkat inflasi pada
tingkat yang wajar. Selain itu bank sentral juga berkewajiban mengendalikan
tingkat nilai tukar uang mata uang domestic. Saat ini pola inflation targeting
banyak diterapkan oleh bank sentral di seluruh dunia termasuk Indonesia.
·
BUMN YANG BANYAK DIJUAL DIPIHAK LAIN
Dalam pandangan Islam,
hutan dan barang tambang adalah milik umum yang harus dikelola hanya oleh negara
dimana hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah
atau subsidi untuk kebutuhan primer semisal pendidikan, kesehatan dan fasilitas
umum. Paradigma pengelolaan
sumberdaya alam milik umum yang berbasis swasta atau (corporate based
management) harus dirubah menjadi pengelolaan kepemilikan umum oleh negara
(state based management) dengan tetap berorientasi kelestarian
sumber daya (sustainable resources principle).
Pendapat bahwa sumber daya alam milik umum
harus dikelola oleh negara untuk hasilnya diberikan kepada rakyat dikemukakan
oleh An-Nabhani berdasarkan pada hadits riwayat Imam At-Tirmidzi dari
Abyadh bin Hamal. Dalam hadits tersebut,
Abyad diceritakan telah
meminta kepada Rasul untuk dapat mengelola sebuah tambang garam.
Rasul meluluskan permintaan itu, tapi segera diingatkan oleh seorang shahabat,
“Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang
engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang
bagaikan air mengalir (ma’u al-‘iddu)” Rasulullah kemudian bersabda: “Tariklah
tambang tersebut darinya”.
Hadist tersebut
menyerupakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak dengan air yang
mengalir. Bahwa semula Rasullah SAW memberikan tambang garam kepada
Abyadh menunjukkan kebolehan memberikan tambang garam atau tambang yang lain
kepada seseorang.
Tapi ketika kemudian Rasul
mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang cukup
besar, digambarkan bagaikan air yang terus mengalir, maka Rasul
mencabut pemberian itu, karena dengan kandungannya yang
sangat besar itu tambang tersebut dikategorikan milik
umum. Dan semua milik umum
tidak boleh dikuasai oleh individu.
Yang menjadi fokus
dalam hadits tersebut tentu saja bukan “garam”, melainkan
tambangnya. Terbukti, ketika Rasul mengetahui bahwa tambang garam itu jumlahnya
sangat banyak, ia menarik kembali pemberian itu. An-Nabhani mengutip ungkapan
Abu Ubaid yang mengatakan:
“Adapun pemberian Nabi
SAW kepada Abyadh bin Hambal terhadap tambang garam yang terdapat di daerah
Ma’rab, kemudian beliau mengambilnya kembali dari tangan Abyadh, sesungguhnya
beliau mencabutnya semata karena menurut beliau tambang tersebut merupakan
tanah mati yang dihidupkan oleh Abyadh lalu dia mengelolanya. Ketika Nabi SAW
mengetahui bahwa tambang tersebut (laksana) air yang mengalir, yang mana air
tersebut merupakan benda yang tidak pernah habis, seperti mata air dan air bor,
maka beliau mencabutnya kembali, karena sunnah Rasulullah SAW dalam masalah
padang, api dan air menyatakan bahwa semua manusia berserikat dalam masalah
tersebut, maka beliau melarang bagi seseorang untuk memilikinya, sementara yang
lain tidak dapat memilikinya”.
Penarikan kembali
pemberian Rasul kepada Abyadh adalah illat dari
larangan sesuatu yang menjadi milik umum termasuk dalam hal ini barang tambang yang kandungannya sangat banyak untuk dimiliki individu. Dalam hadits
dari Amru bin Qais lebih jelas lagi disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan garam di sini adalah tambang garam atau “ma’danul
milhi” (tambang garam).
Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud,
bahwa Rasulullah telah memberikan tambang kepada Bilal bin Harits Al Muzni dari
kabilahnya, serta hadits yang diriwayatkan oleh Abu Ubaid dalam kitab Al
Amwal dari Abi Ikrimah yang mengatakan: “Rasulullah saw.memberikan
sebidang tanah ini kepada Bilal dari tempat ini hingga sekian, berikut
kandungan buminya, baik berupa gunung atau tambang,” sebenarnya tidak
bertentangan dengan hadits Abyadh ini.
Hadits di
atas mengandung pengertian bahwa tambang yang diberikan oleh Rasulullah
kepada Bilal kandungannya terbatas, sehingga boleh diberikan. Sebagaimana
Rasulullah pertama kalinya memberikan tambang garam tersebut kepada Abyadh.
Tapi kebolehan pemberian barang tambang ini tidak boleh
diartikan secara mutlak, sebab jika diartikan demikian tentu bertentangan
dengan pencabutan Rasul setelah diketahui bahwa tambang itu
kandungannya besar bagaikan air yang terus mengalir. Jadi jelaslah
bahwa kandungan tambang yang diberikan Rasulullah tersebut bersifat terbatas.
Menurut konsep kepemilikan dalam
sistem ekonomi Islam, tambang yang jumlahnya sangat besar baik yang
nampak sehingga bisa didapat tanpa harus susah payah seperti garam,
batubara, dan sebagainya; ataupun tambang yang berada di dalam perut
bumi yang tidak bisa diperoleh kecuali dengan usaha keras seperti tambang
emas, perak, besi, tembaga, timah dan sejenisnya termasuk milik
umum. Baik berbentuk padat,
semisal kristal ataupun berbentuk cair, semisal minyak, semuanya adalah tambang
yang termasuk dalam pengertian hadits di atas.
Sedangkan
benda-benda yang sifat pembentukannya mencegah untuk hanya dimiliki oleh
pribadi, benda tersebut termasuk milik umum. Meski termasuk dalam
kelompok pertama, karena merupakan
fasilitas umum, benda-benda tersebut berbeda dengan kelompok yang pertama dari segi sifatnya, maka benda tersebut tidak bisa
dimiliki oleh individu. Berbeda dengan kelompok pertama, yang memang boleh
dimiliki oleh individu. Air misalnya, mungkin saja dimiliki oleh individu, tapi bila suatu komunitas
membutuhkannya, individu tidak boleh memilikina. Berbeda dengan jalan, sebab
jalan memang tidak mungkin dimiliki oleh individu.
Oleh karena itu, sebenarnya pembagian ini -
meskipun dalilnya bisa diberlakukan illat syar’iyah, yaitu
keberadaannya sebagai kepentingan umum - esensi faktanya menunjukkan bahwa
benda-benda tersebut merupakan milik umum (collective property). Seperti jalan, sungai, laut, dana, tanah-tanah umum, teluk,
selat dan sebagainya. Yang juga bisa disetarakan dengan hal-hal tadi adalah masjid,
sekolah milik negara, rumah sakit negara, lapangan, tempat-tempat penampungan
dan sebagainya.
Al-‘Assal & Karim (1999: 72-73) mengutip
pendapat Ibnu Qudamah dalam Kitabnya Al-Mughni mengatakan: “Barang-barang
tambang yang oleh manusia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya, seperti
halnya garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat), petroleum, intan dan
lain-lain, tidak boleh dipertahankan (hak kepemilikan individualnya) selain
oleh seluruh kaum muslimin, sebab hal itu akan merugikan mereka”.
Maksud dari pendapat
Ibnu Qudamah adalah bahwa barang-barang tambang adalah milik orang banyak
meskipun diperoleh dari tanah hak milik khusus. Maka barang siapa menemukan barang tambang atau petroleum pada tanah
miliknya tidak halal baginya untuk memilikinya dan harus diberikan kepada
negara untuk mengelolanya.
DAFTAR
PUSTAKA
http://www.republika.co.id/berita/syariah/keuangan/12/01/12/lxo2dq-ekonomi-syariah-solusi-jitu-pengentasan-kemiskinan